... SEBUAH KISAH MENGHARUKAN HATI ...
Bismillahir-Rahmaanir-Rahim … MALAM ketika kau datang dan langsung
duduk di sebelahku, memelukku, dan menyandarkan kepalamu di bahuku, aku
terdiam.
Bahkan kuurungkan niatku untuk meminta maaf atas
kesalahan yang telah kupendam selama lima tahun ini. Karena kamu tak
sedang ingin bicara. Hanya bersandar di bahuku dan memelukku dengan
erat, seolah tak ingin lepas. Hingga kurasakan otot tanganmu yang kecil itu seperti membelit tubuh dari samping kiriku.
Namun aku memberanikan diri untuk bicara. Karena kupikir, terlalu berat
menanggung rasa bersalah ini selama lebih dari setengah dasa warsa,
sebuah waktu yang tak pendek untuk menyembunyikan sebuah kebohongan.
Sedang aku mencintaimu dengan tulus, dan tak ingin kehilanganmu.
“Sayang, tolong beri kesempatan aku bicara, lima menit saja,”. Kali ini
dia tak hanya meresponku dengan diam dan geleng-geleng kepala. Jari
telunjuknya bahkan langsung menutup bibirku, hingga lagi-lagi kubatalkan
niatku.
“Plizzzzzzz, jangan kau ajak aku bicara. Kali ini
saja! Aku sedang ingin memelukmu sekuat tenagaku, selama mungkin, sampai
akhir hidupku. Karena aku takut akan kehilangan kesempatan ini,
sehingga menyesal di kehidupan nanti,” tuturnya sambil terus
menenggelamkan kepalanya di bahuku, hingga pundakku terasa berat.
Setelah itu, kau terdiam. Hening. Sunyi. Suasana di taman belakang
rumahmu ini hanya menyisakan suara alam; semilir angin dan suara
serangga malam. Aku baru ingat, inilah tempat yang sama di masa lalu,
ketika aku memutuskan memilihmu sebagai pendamping hidupku. Di kursi
yang sama ini, kaupun dulu memeluk dan menyandarkan kepalamu di bakuku
dengan erat. Itu tujuh tahun lalu.
Satu bulan setelah itu, kita
membacakan ikrar di depan penghulu, untuk mengikat simpul janji
kehidupan rumah tangga yang abadi. Aku bahagia dan kaupun kuyakin
merasakan yang sama. Namun dua tahun setelah pernikahan kita, aku
menyakitimu –tanpa kau tahu. Bahkan hingga kini sekalipun.
Sebab selama lima tahun aku pendam sebuah rahasia besar, sebelum satu
minggu lalu kuputuskan berhenti dari kesalahan ini. Berniat meminta maaf
atas kesalahan terbesarku terhadapmu.
Bila perlu, akan kucium
kakimu dengan bersimpuh. “Kau harus tahu sayang, bahwa lima tahun
perjalanan rumah tangga yang seolah menyenangkan ini, lama kuisi dengan
kebohongan. Sebuah dusta yang mungkin tak termaafkan bagimu. Dan hari
ini, ingin aku mengakui semua dosa itu dan berharap atas maafmu, yang
kuragukan akan kauberikan kepadaku,”bersitku dalam hati.
Masih
hening. Pun sunyi yang masih saja menyeruak, merindingkan bulu kakiku.
Sampai ku tersadar, beban di pundaku serasa kian berat saja. Pelukanmu
kian kaku mengunci tubuhku. Dan sentuhan tanganmu seperti memancarkan
dingin. “Sayang, apakah kamu sakit? Biar kita ke dalam saja. Kamu harus
mengistirahatkan tubuhmu di kamar,” ungkapku.
Dia tetap lelap,
seolah tak mendengar ucapanku. Kucoba gerakkan tubuhnya. Kuangkat
kepalanya, tapi berat. Matanya tetap terpejam. Aku pun memutuskan untuk
membopongnya.
Kucoba lepaskan pelukan tangannya dari tubuhku,
tetapi tak berhasil. Aku merasakan tangannya kian dingin. Dia pun tak
berreaksi sama sekali. Rini sayang, bangun. Ayo kita ke dalam,” pintaku
dengan menepuk pipi kirinya. Tetapi lagi-lagi dia tak berreaksi.
Aku mulai panik. Dengan sedikit keras, kulepaskan pelukan tangannya.
Dan akhirnya berhasil. Dengan cepat kuangkat tubuhnya ke dalam kamar.
Kubaringkan tubuhmu secara perlahan ke tempat tidur. Kembali kucoba
membangunkanmu, tapi gagal.
Kau tidur sangat lelap? Aku semakin
panik saja. Kudekatkan punggung telapak tanganku tepat di depan
hidungmu. Oh tidak, nafasmu terhenti. Kupegang lehermu, nadimu pun tak
berdenyut.
Dalam kondisi panik itu, aku akhirnya bisa
memastikan, itriku telah pergi meninggalkanku selamanya. Tangisku pun
pecah, mengisi seruangan rumah yang hanya kami tempati berdua, selama
tujuh tahun ini.
Aku menangisimu dengan keras, sambil memelukmu
erat. “Tidak sayang, kamu pasti tengah bercanda dan menghiburku. Bangun
sayang, jangan kau tinggalkan aku. Sungguh, aku tak sanggup,” teriakku
sambil menatap wajahnya dan menggoyang-goyangkan tubuhnya.
Aku
berharap masih ada keajaiban, sehingga dia masih bisa hidup bersamaku
untuk waktu yang panjang, sampai masa tua. Masa di mana kualitas ingatan
kita berdua terus menurun. Tetapi kau tetap memanggilku papa dengan
lembut. Akupun memanggilnya dengan sebutan sayang. Kita masih bisa mandi
bareng, melestarikan kasih sayang penuh romantisme, hingga saat-saat
maut menjemput salah satu dari kita, lalu yang lainnya mengidap sepi
yang sangat.
Aku terus berkhayal tentang masa depan bersamanya,
sampai ujung hidup merenggut nyawa. Imajinasiku terus melayang, terus
terbang, dan tanpa sadar aku nyaris tertidur.
Seketika
kulepaskan pelukanku, kutatap dalam-dalam wajah istriku. Air mataku
menetes perlahan dan terus membanjiri pipiku. Memandangi wajahnya yang
tetap cantik dan tersenyum, meski kini wajahnya telah pucat.
Dia meninggalkanku dengan senyum. Tidak sepertiku yang ditinggal dengaan
rasa salah, feeling guilty yang menyesakkan dadaku. Tubuh ini seperti
terangkat, terbang ke cakrawala langit, hingga nafas terengah-engah.
Aku mencoba bangun, ketika tanganku merasakan sentuhan sesuatu di saku
kaus berkerah istriku. Akupun mengambilnya, ternyata selembar kertas
catatan. Kuberanikan diri membukanya, sedikit demi sedikit, lalu
membacanya.
“Untuk suamiku tercinta, lelaki terbaik yang Allah
kirimkan untuk mendampingiku. Aku mensyukurinya, meski harus menyesal,
karena sedemikian singkat aku menikmati masa-masa indah bersama lelaki
yang kubayangkan seperti pangeran berkuda dari negeri antah barantah.
Suamiku, maafkan aku, karena hanya sedikit waktu yang bisa
kudedikasikan untukmu. Kanker di rahimku ini tak lagi mampu kutahan,
hingga merenggut nyawaku, di usia ketujuh pernikahan kita. Sayang, aku
sangat menikmati masa-masa bersamamu, sehingga tak pernah terbayangkan
dalam hati dan pikiranku, untuk berpaling sejenak pun darimu.
Sungguh, cintamu tak pernah tergantikan dengan lelaki manapun. Untuk
satu hal ini, aku mengucap syukur kepada Tuhanku setiap waktu. Sungguh,
aku merasakan keindahan bersamamu, yang tak mungkin mampu kudefinisikan.
Tetapi aku menyadari kekuranganku sebagai istri, yang secara wajar tak
bisa memberikanmu keindahan memadu asmara, di setiap malam yang kaum
impikan. Aku menyadari itu dan kamu pun tentu telah menyadari resiko itu
sejak pertama kali memutuskan meminangku untuk hidupmu.
Itu
sebabnya, aku tak marah, ketika kutahu, engkau tah tahan juga –sebagai
lelaki normal- untuk mencari kepuasan dari perempuan lain yang bisa
memuaskanmu.
Di awal tahun ketiga pernikahan, ketika engkau
mulai tergoda seorang perempuan cantik dan seksi itu, aku pun bukan tak
tahu. Kudiamkan sebagai sebuah bentuk pengabdian cintaku kepadamu.
Bahkan ketika akhirnya kau menikahi perempuan itu secara siri, lalu
mendapatkan keturunan darinya, aku pun tak marah.
Kau mungkin
tak tahu. Bahwa ketika perempuan itu berberat hati untuk menerima
tawaranmu menikah, karena dia menghormati aku, maka aku pula yang
meyakinkannya, tanpa sepengatahuanmu, untuk menerimamu.
Aku
tahu, dia perempuan yang tak hanya mampu memenuhi kebutuhan akan
kepuasan biologis. Lebih dari itu, dia adalah perempuan yang jujur,
berhati baik dan tulus. Dan terutama, dia sangat menyayangimu,
sepertiku.
Suamiku, engkau adalah laki-laki dengan sketsa wajah
yang telah kukenali secara dalam. Bahkan bau keringatmu pun kuhafal,
hingga ujung hidupku. Kau tak perlu meminta maaf, atas keputusanmu
mencintai perempuan desa itu, untuk menikahinya, dan untuk memberinya
keturunan.
Aku tak marah. Ini konsekuensi cinta yang harus
kubayar. Karena kutahu, hingga akhir hayatku, engkau masih setia
menemaniku, tak pernah terbersit sedikitpun meninggalkanku. Menemaniku
hingga saat-saat kematianku adalah lebih dari cukup bagiku, perempuan
tak normal yang gagal memberikanmu keturunan.
Jangan pernah
menyesal dan menangisi keputusanmu itu. Dan kau pun tak perlu meminta
maaf. Karena sejak awal kutahu keputusanmu itu, aku telah memaafkanmu.
Sama sekali aku tak menganggapmu berselingkuh, apalagi mengkhianatiku.
Maka, untuk yang terakhir kalinya, aku memintamu memberiku satu senyuman
terindah, seperti yang pernah tercatat dalam keabadaian hatiku, saat
pertama kali kau tatap wajahku.
Selamat tinggal suamiku
tersayang. Kutunggu kau, pertemuanmu dan anak-anakmu, di kehidupan
berikutnya. Aku mencintaimu lebih dari yang kau tahu.
Istrimu yang sangat mencintaimu,
Rini
Mendadak semuanya gelap. Tak ada kehidupan.***
No comments:
Post a Comment
berikan kata kata indahmu disini kawan :)